Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan formulasi baru dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013 mendatang. Tahun depan, SNMPTN hanya dilakukan dengan jalur undangan. SNMPTN jalur tulis dihapus.
Saya begitu kaget tatkala membaca berita ini, sekaligus terenyuh, tertawa miris dan berpikir mau dibawa ke mana pendidikan kita?
Pangkal dari segala dosa adalah kebohongan. Dan barangkali, carut-marutnya berbagai bidang di negeri ini adalah karena anak-anak kita telah diajari berbohong sejak SD. Ketika saya berbincang mengenai kecurangan pada ujian nasional semasa saya SMA, seorang teman bahkan bercerita bahwa praktik-praktik kecurangan itu sudah terjadi sejak SD. Murid-murid diberi kunci jawaban oleh gurunya sendiri. Duh, saya jadi habis pikir, bagaimana mungkin seorang guru, seorang pendidik, bisa-bisanya memberi kunci jawaban, apakah dia/mereka tidak yakin pada hasil didikannya sendiri?
Orientasi Nilai yang Kebablasan
Sering kita begitu bangga pada pencapaian atas dasar nilai yang diberikan oleh orang lain. Sejak kecil, begitu pulang sekolah, ibu kadang bertanya, “Berapa nilai yang kamu dapat hari ini?” Jarang ada yang bertanya, “Apa yang kamu pelajari hari ini?”
Pencapaian kuantitatif itu membuat sang anak berpikir bahwa bila nilainya bagus, ibunya akan senang. Bila nilainya bagus, ia berarti pintar. Maka logika menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus itu menjadi wajar.
Hasilnya, budaya menyontek merajalela dan ketika kunci-kunci jawaban disebarkan itu adalah sebuah bentuk pembenaran yang sah.
Saya jadi mengenang masa-masa SMP ketika hasil ujian dibagikan, dan pernah mendapatkan nilai 3,30 untuk nilai IPA, dan dengan usaha akhirnya saya mendapat nilai 6,30 di caturwulan berikutnya. Rasa mendapatkan nilai 6 dengan kemampuan sendiri sudah cukup membanggakan saat itu. barangkali kalau diterjemahkan ke dalam keadaan sekarang, nilai 6 sudah begitu hina. Dan nilai 8 yang dulu termasuk amat sakral itu, sudah turut hina pula. Ini terbukti manakala di ujian nasional SMA, saya hanya mendapatkan nilai 8,67 dan itu menjadi nilai terendah nomor dua di kelas selain seorang gadis berjilbab lebar yang menjunjung tinggi kejujuran mendapat nilai 6,00. Yang lainnya 9,3 ke atas dengan modal kunci jawaban dari guru.
Saya tidak tahu apa yang dibanggakan dari nilai 9,3 palsu itu ketika SNMPTN datang dan mereka berguguran satu per satu. 2005. Saya ingat benar, yang lulus di Kedokteran UNSRI hanya 2 orang dan nilai raport mereka biasa-biasa saja. Yang lulus STAN 7 orang dan lulus ITB hanya 3 orang. Padahal sekolah saya termasuk sekolah favorit dengan siswa lebih dari 500 orang per tahunnya. Persentase yang mengagumkan bukan?
Lalu bagaimana nasib anak-anak “jenius” yang biasanya tidak tunduk/patuh pada aturan sekolah yang kaku, yang menyebabkan nilai rapor mereka biasa-biasa saja jika SNMPTN ujian tulis dihapuskan? Mengingat pemberian nilai rapor banyak tidak jujurnya. Yang ikut study tur nilainya besar, yang beli buku dari guru nilainya besar, yang ikut olahraga renang nilainya besar, dll. Dan hal ini membuat saya mengingat pula, program PMDK saat itu, ketika nilai-nilai dikatrol dan ranking-ranking dimanipulasi. Apakah wajah-wajah pendidikan seperti ini yang akan lanjut ke jenjang berikutnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar