Desa asing dengan nama aneh itu menyimpan sebuah cerita.
Aku adalah seseorang yang ingin tau segala bentuk hal baru.
Tanggal 28-30 maret yang lalu saya dan 11 teman saya mengikuti kegiatan PKS di desa balongpanggang kecamatan Gresik. Desa yang asing, apalagi bagi seorang mahasiswa baru perantauan sepertiku. Jujur aku mengikuti kegiatan PKS ini pada awalnya memang untuk mengisi waktu luang daripada nganggur dikosan lagipula aku juga menyukai hal-hal baru, hal-hal yang belum pernah ku lakukan sebelumnya. Dan pastinya hal tersebut harus hal yang bersifat positif. Nah, kegiatan PKS iniadalah kesempatan untukku.
Pada awalnya aku tidak mengetahui kegiatan ini, karena info dari salah satu kakak senior di kampus hanya sekilas saja. Belum benar-benar tau membuat saya ingin benar-benar tau apa sih PKS in ? Mengikuti rapat di malam hari dengan suasana hati was-was karena takut gerbang kos ditutup . Demi apa ? Demi sebuah komitmen mengikuti PKS ini.
Di awal saya menganggap kegiatan PKS ini hanya kegiatan Pelatihan Sosial biasa. Hanya sekedar membantu warga di sebuah desa. Halah paling hal yang biasa diceritakan kakak-kakak kelas sebelumnya. Saya beranggapan kegiatan ini membantu secara obyektif sebuah desa, intinya saya beranggapan kegiatan ini "biasa-biasa saja'". Ternyata kegiatan ini berbeda. Kegiatan ini membuat saya mengerti benar apa arti kehidupan, kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang sebenarnya kita tau tapi belum kita sentuh dan pandang dengan hati.
Disana aku menjadi seseorang yang benar-benar sederhana tidak mengenal perangkat elektronik, media sosial, kehidupan pribadi dsbnya. Disana saya belajar menjadi pribadi yang baru dari hari-hari biasanya. Tanpa sadar melalui kegiatan PKS ini aku menyadari bahwa kegiatan rutin yang biasa aku lakukan kebanyakan merupakan kegiatan untuk kepentingan diri sendiri. Disini aku belajar kehidupan dari keluargaku disana. Kenapa aku menyebutnya keluargaku?bukan keluarga baru? Karena aku dianggap dan menganggap mereka keluarga, bukan kenalan baru, bukan orang baru, dan bukan seseorang yang aku tumpangi rumahnya.
Ya, disana aku menumpangi sebuah rumah yang amat sangat sederhana. Aku tidak sempat berpikir kenapa keluarga tersebut mau rumahnya ditumpangi seseorang yang sepertiku. Seseorang yang manja dan terlalu santai menjalani kehidupan. Tidak berpikir terlalu keras dalam menjalani kehidupan. Aku sadar kehidupanku mengikuti arus. Dsana aku sadar bahwa kehidupan itu keras bahkan amat sangat keras.
Pernah merasakan keringat kering di wajah? Mungkin ini berlebihan tapi ini nyata. Disana aku menjadi buruh tandur di sawah, yang merasakan panasnya terik sinar matahari. Keringat ku langsung kering karena tertepa sinar tengah hari. Panas ? memang, tapi haruskah aku mengeluh ketika melihat ibu-ibu tua dan paruh baya itu tak mengenal lelah? Menjawab tak lelah ketika disuruh beristirahat. Menjawab tidak apa-apa ketika ditanya "gak kesel ta nduk?" Gimana aku yang masih muda ini beristirahat, jika emak gendruk yang renta tetap melanjukan pekerjaannya? . Aku menjadi pribadi yang berpura-pura kuat saat itu. Aku saat itu munafik, menjawab tidak padahal faktanya iya, menjawab tidak apa-apa ketika jawaban sebenarnya adalah "apa-apa".
Perjuangan emak yang tua yang seharusnya sudah dirumah dan menikmati masa mudanya masih berlangsung.
Ketika aku bertanya "mak kenapa gak dirumah aja, kan emak sudah tua?" emak dengan polosnya menjawab "lah terus nanti makan apa?" miris.
Walau emak mempunyai anak yang semuanya bekerja beliau tidak mau membebani mereka. Katanya "ya emang mbak widya karo mbak yuni sampun nyambut gawe tapi kan jenenge wong enom nduk, mesti kan duwe kebutuhan dewe-dewe gak enak lek emak nampung terus, mumpung emak sek iso nyambut gawe, lagipula lek emak iki meneng wae ndek omah iku kesel gak enak gak iso kumpul karo konco-konco,"
Lihat, dalam tubuh yang sudah renta Emak tidak hanya memikirkan diri sendiri dia masih memikirkan orang lain.. Luar biasa.
Namun menurut emak yang dilakukan sekarang ini tidaklah berat. Dulu katanya lebih berat, emak sebelumnya bekerja sebagai pedagang keliling di desanya menjajakan apa saja yang bisa ia jual. Pagi menjual rujak sorenya menjual gorengan. Bangun jam setengah satu pagi untuk mempersiapkan dagangan. Di jam segitu aku pasti masih terlelap, terbuai dalam mimpi. Tapi emak ? Fisiknya tak pernah lelah untuk bekerja.
Namun, suatu ketika sang pekerja keraspun roboh. Tubuhnya sudah terlalu capek untuk bekerja, emak sakit keras. 1 tahun beliau tak bekerja.
Tapi itu satu tahun lalu, sekarang? emak sudah sembuh. Dan lihat, emak kembali seperti sebelumnya, sang pekerja keras.
Disawah bukan hal yang mudah. Bertaruh dengan sinar matahari dengan fisik yang renta merupakan ironi kehidupan di sebuah desa. Nenek-nenek tua yang sudah akrab dengan lumpur merupakan hal biasa. Disana aku melihat kerja keras emak.. Mandi di telaga untuk mengusir panas sekaligus menghilangkan lumpur-lumpur kotor di badan merupakan rutinitas. Lucu, ketika melihat emak berenang di telaga seperti anak kecil. :)
Disawah itu capek. Aku sempat merasakan pegal-pegal di sekitar kaki sesudah tandur di sawah. Kalau orang jawa bilang "njarem". Disawah aku belajar Menghargai nasi, menghargai setiap butir nasi berarti menghargai kerja keras sang penanam padi.
Aku juga sempat menjadi buruh pembuat keset. Buruh pembuat keset, merasakan ketika waktu 1,5 jam hanya dihargai 500rupiah. Ya, membuat keset bukan hal yang mudah harus teliti dan harus sabar duduk diam dengan tumpukan kain perca beraneka warna. Mungkin menurut pandangan orang membuat keset itu mudah, hanya menganyam kain perca sehingga menjadi sebuah bentuk kotak yang mereka sebut keset. Tapi membuat kset harus diperlukanketelitian dan kesbaran ekstra. Bukan itu saja, tanpa sadar membuat keset kita juga berkreativitas menhadirkan pola-pola indah. Keset yang kita injak tanpa sadar terdapat semangat juang pembuatnya. Semangat juang untuk hidup, menjalani kehidupan dan kesabaran .
Aku sadar. Aku merupakan tipe orang yang manja, yang terlalu santai menjalani kehidupan, maklum aku anak bungsu dari 3 bersaudara dan kakak-kakak saya laki-laki semua. Bisa dibayangkan kan bagaimana kehidupanku ? Ya kamu benar. Aku dulu terbiasa menjadi anak yang dimanja yang selalu menangis apabila keinginanku tidak terpenuhi. Itu waktu SD, beranjak SMA sedikit mendingan hanya "mrengut" kalau keinginanku tidak dipenuhi. Lucu kalau mengingat sifatku itu. Sedikit sensitif dan terkadang ingin menang sendiri. Akan bekerja bila disuruh,aku tipe penunggu perintah, sadar tapi tidak bergerak. Mengerti tapi tidak mau bertindak.
Disana aku berubah. Berubah menjadi lebih baik. Melakukan hal tanpa disuruh, menyadari dan bergerak, mengerti dan langsung bertindak. Mencoba dan belajar menjadi sesuatu yang berbeda itu menyenangkan.
Disana aku menemukan arti kerja keras, perjuangan, keikhlasan, kesabaran dan cinta.
Disawah aku belajar kerja keras mencari uang, kerja keras membahagiakan keluarga, kerja keras pantang menyerah, keikhlasan waktu dan tenaga. Dengan keadaan yang pas-pasan aku masih tetap dimanja, padahal aku tak ingin dimanja. Aku dianggap menjadi anak padahal aku orang yang baru dikenalnya.
Keluarga mak gendruk menganggap anak yang baru dikenalnya ini keluarga. Bahagia :)
Rumah mak gendruk yang kecil di huni oleh 6 anggota keluarga. Bisa dibayangkan bagaimana sempitnya rumah itu ketika disana. Dirumah kecil itu tinggal mak gendruk, mbak widya, hendrik, mbak yuni dan bapak hendrik yang aku lupa namanya. Cucu mak gendruk hendrik masih kelas 2SD, mbak widya anak bungsu mak gendruk merupakan lulusan SMP yang tak mempunyai ijazah. Kenapa? ijazah mbak Widya masih berada disekolah lamanya, tidak bisa diambil karena tak sanggup menebusnya. Katanya, perlu uang 500ribu untuk menebus,.
Aku sempat berkata "loh, mbak Wid kan kerja seh, kenapa uangnya gak di tabung buat nebus? Kan enak mbak bisa ngelanjutin paket C, lumayan lo buat nyari pekerjaan" mbak Widya menjawab santai "ya kapan-kapan saja, ini masih mengumpulkan uang, lagipula banyak juga kok siswa disini yang ijazahnya masih disana"
Agak nyesek dengan pandangan pendidikan disana.
Usia mbak widya hanya lebih tua setahun dariku, tapi dia sudah bekerja di sebuah pabrik kayu. agak jauh dari rumahnya sehingga harus ngekos dan pulang seminggu sekali. Sebenarnya banyak pabrik disekitar sana, namun ia ingin mencari pengalaman, ya walaupun ia harus rela sebagian gajinya untuk membayar kos.
"Kenapa tidak wirausaha mbak ?"
"Enggak masih belum punya modal, disini yang ada hanya buruh, ya buruh keset ini salah satunya. Buruh keset itu murah. Orang yang sudah ahli saja mungkin hanya bisa menghasilakan 20 keset dalam 1hari. Berarti 500x20=10.000, murah kan? Makanya aku lebih memilih kerja di pabrik." Ironi di sebuah pedesaan.
Kain perca yang warna-warni dan karena terlalu capek menganyam keset yang tidak selesai-selesai membuat ku berpikir sesuatu, kuanyam kain perca itu menjadi bentuk "kelabang" , pita kecil dsbnya. Maklum dirumah, nenekku seorang penjahit jadi aku sedikit bisa kalau hal mengolah kain.
Lucu, sebuah accesoris sederhana sudah jadi dan kalau dipoles sedikit memiliki harga jual. "Kalau di kota ini bisa di pakek buat bando atau accesoris kerudung lo mbak, agak mahal daripada buat keset ini, udah murah lama pula buatnya" kataku disertai tawa kami berdua.
Hendri. Seorang anak yang masih emang berpikiran anak-anak. Bermain adalah kegiatannya. Tapi entah kenapa ketika aku disana Hendri menjadi anak rumahan, selalu mengikuti ku. Tiap malam aku menyempatkan untuk belajar bersama Hendri, aku senang belajar bersama anak-anak. Entah karena jiwaku yang kekanak-kanakan atau mungkin karena aku terbiasa dengan kegaiatn rutinku di Pijar "Pondok Indonesia Belajar" sebuah komunitas sosial yang aku ikuti di kampus. Komunitas sosial yang peduli akan anak di sebuah kampoeng.
Bersama Hendri, kita belajar matematika, bahasa inggris dsbnya. Namun ketika aku di suruh mengajarinya bahasa.jawa aku menolak, bagaimana tidak ? Aku saja tidak terlalu fasih berbahasa jawa inggil. Hehe.
Ketika aku pulang aku terkaget ketika Hendri menangis ketika aku berpamitan pulang. Seorang anak laki-laki ini ternyata cengeng. Adikku. Dan setelah aku pulang adan melakukan kegiatan rutin mahasiswa seperti biasanya aku sempat terkaget ketika Hendri mengirim sms singkat di nomer ku. Haru, ternyata Hendri masih mengingatku. :(
Ternyata waktu 3 hari sangat cepat. Hari dari mulai memahami apa itu PKS, memulai persiapan, rapat malam hari, pelatihan pembuatan kerajinan dari plastik, hari pemberangkatan, jam-jam menuju desa balongpanggang, berkumpul di balai desa, mencari rumah dan keluarga yang kan ditempati, bekerja menjadi buruh disawah, menjadi buruh pembuat keset, hari pelatihan lastik buat warga sekitar, hari kepulangan, dan sebgainya.
Desa asing dengan nama yang aneh itu menyimpan sebuah cerita.
Hari-hari dari mulai hari pertama sampai hari berpamitan merupakan hari yang istimewa. Air mata tiba-tiba jatuh tanpa sebab, benar-benar jatuh tanpa sebab. Tiba-tiba ingin menangis, entah karena ingat mereka yang telah menjadikakku keluarga, atau tersadar akan arti kehidupan.
Kegiatan PKS ini sangat hidup dan menghidupkan jiwa pengabdian kami. Kami ber-11 yang mengikuti PKS ini benar-benar tersadar bahwa berbagi tidak harus memberi, namun berbagi juga bisa dilakukan dengan berbagi semangat untuk tetap menjalani kehidupan, keceriaan, nasihat kecil, berbagi telinga untuk mendengarkan keluh kesah, membagi apa saja yang bisa dibagi :)
Saya berharap kegiatan PKS ini bisa dilakukan kembali tahun depan.
Kegiatan PKS ini benar-benar memberi mamfaat secara real. Bukan hanya sebuah kegiatan yang akan terlupakan begitu saja. Pengalaman-pengalaman yang kita dapatkan di PKS ini masih membekas dan tak pernah pudar.
Diharapkan kegiatan PKS selanjutnya akan lebih dari ini, ini sudah istimewa diharapkan besok bisa lebih amat istimewa, pemilihan rumah dan kelurga yang ditempati harus benar-benar terpikirkan secara matang. Aku siap mencari ilmu dari arti sebuah pengabdian di dalam komunitas FEM.
Siska Anggraini Putri. 09-04-2013